Sama halnya dengan Bali, masyarakat Banyuwangi juga dikenal memiliki
akar kebudayaan yang kuat. Hal ini tergambar bukan hanya dalam berbagai
kesenian adiluhung yang ada di daerah tersebut, tetapi juga dari kuliner
tradisionalnya.
Di antara begitu banyak kuliner tradisional khas Banyuwangi, Sego Tempong merupakan salah satu yang mulai tersisihkan.
Sarti, seorang ibu pemilik warung di dekat Taman Blambangan saat ditemui, yang ditulis pada Selasa (16/6/2015) menuturkan, “Cari Sego Tempong udah susah di sini, tapi kalau mau saya buatkan, nanti balik lagi sore ke sini, saya siapkan.”
Lebih jauh Sarti menjelaskan, Sego dalam bahasa Jawa berarti nasi,
sedangkan Tempong merupakan bahasa Jawa ngoko yang bermakna tampar.
‘Tempong’ merepresentasikan pedasnya sambal dalam kuliner tradisional
tersebut seperti pedasnya sebuah tamparan.
Satu porsi Sego Tempong umumnya berisi berbagai macam sayur dan lauk,
seperti daun bayam yang telah direbus, daun kemangi, dan kenikir yang
memiliki banyak khasiat. Sementara lauk yang disajikan antara lain,
tahu, tempe, bakwan jagung, dan ayam goreng.
Banyak hal yang menyebabkan Sego Tempong makin tersisihkan dari masyarakat Banyuwangi,
mulai dari pengaruh modernitas hingga adanya anggapan bahwa Sego
Tempong adalah ‘makanan orang kampung’. Padahal dahulu Sego Tempong
menjadi kuliner yang paling digemari, dan menjadi makanan rakyat.
source: liputan6