Dok. IsunBanyuwangi - Puter Kayun 2015 |
Di Boyolangu, tradisi Puter Kayun sudah diwariskan secara turun-temurun. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki Tuhan, Puter Kayun juga merupakan sebuah tradisi menepati sebuah janji, mereka adalah keturunan Buyut Jaksa atau Ki Martajaya. Konon, Buyut Jaksa yang tinggal di Bukit Silangu adalah seorang yang sangat sakti. Ia adalah orang yang berjasa dalam pembangunan jalan dari Panarukan hingga Banyuwangi di masa Kolonial Belanda. Namu usaha pembuatan jalan tersebut terhenti karena menemui rintangan. Rintangan tersebut adalah bukit batu yang keras dan tebal, sehingga tidak terusik sedikitpun oleh kekuatan manusia. Terlebih lagi dibukit itu diyakini ada kekuatan gaib. Tiap hari korban pun berjatuhan dari pihak Pribumi. Akhirnya, Schopoff (Residen di Banyuwangi) meminta Mas Alit (Bupati Banyuwangi Pertama) untuk mengatasi hal itu, yang kemudian Mas Alit mengutus Buyut Jaksa untuk membantunya. Buyut Jaksa awalnya menolak tapi akhirnya setuju dengan syarat orang Belanda juga harus ikut kerja rodi.
Setelah disetujui, beliaupun memanggil Raja makhluk halus yang berada di sana, karena dia tahu bukit itu dihuni makhluk halus. Raja makhluk halus mau membantu Buyut Jaksa asalkan syarat-syarat yang dia minta dipenuhi. Pertama, harus disisakan sebuah batu didekat pantai sebagai tempat bernaungnya. Kedua, mengadakan selamatan atau ajeg-ajeg. Ketiga, keturunan Buyut Jaksa tiap tahun harus menyempatkan diri mengunjungi Gunung Batu itu agar silahturahmi tidak terputus.
Perjanjian itu disetujui Buyut Jaksa, pembongkaranpun dilakukan. Bukan hanya manusia, makhluk halus juga dikerahkan oleh Raja Jin untuk membantu Buyut Jaksa. Konon, batu yang dulu berdiri ditepi pantai itu (Watudodol) sengaja ditancapkan. Hal itu dapat dilihat dari tekstur batu yang makin kebawah makin mengecil seperti paku. Meski demikian, batu itu tidak bergeser sedikitpun meski pernah ditarik oleh dua kapal.
Setelah berhasil membuka jalan, tiap tahun keturunan Buyut Jaksa selalu mengadakan tradisi Puter Kayun ke batu tersebut hingga sekarang. Waktu yang dipilih biasanya adalah tujuh hari setelah Idul Fitri atau lebaran ketupat, sekaligus sebagai rangkaian bersih desa.