Banyuwangi,
kabupaten di ujung timur Pulau Jawa, kaya objek pariwisata alam maupun
budaya. Letaknya memang strategis. Selat Bali di sebelah timur,
Kabupaten Jember dan Bondowoso di barat, Lautan Hindia di selatan, dan
dikelilingi gunung-gunung (Raung, Merapi, Ijen, Rante dan Pendil).
Realitas itu menjadikan Banyuwangi memiliki potensi menguntungkan di
bidang pertanian, perkebunan, dan sudah pasti pariwisata. Dalam bidang
parkebunan misalnya, wisata agro di Kaliklatak dan Kalibaru merupakan
bukti yang “berbicara sendiri”. Sedangkan kawah Ijen merupakan objek
wisata alam paling eksotis.
Kemudian Pantai Plengkung di segitiga G-Land, terpilih menjadi tempat turnamen surving (selancar)
internasional setiap tahun. Maklum, ketinggian gelombang di pantai ini
mencapai 4-6 meter, sepanjang 2 km. Spektakuler! Masih banyak lagi objek
wisata bernuansa alam yang dapat dinikmati. Sebut saja Taman Nasional
Meru Betiri dan Alas Purwo, habitat sejumlah hewan langka dan
dilindungi, antara lain banteng dan penyu.
Disamping suku bangsa Madura, Jawa, Bali dengan bahasa daerah
masing-masing. Penduduk asli Banyuwangi adalah suku bangsa Using. Mereka
hidup berdampingan secara rukun. Suku Using memiliki bahasa dan budaya
yang masih kental. Salah satu budaya Using yang terpelihara baik hingga
kini, ada di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, dan Desa Bakungan. Budaya
dimaksud lazim mereka sebut Seblang, yakni upacara bersih desa. Ritual
Seblang dalam wujud seni tari Seblang, dimaksudkan untuk memohon
perlindungan pada Allah, agar des a mereka dijauhkan dari segala mara
bahaya, malapetaka, serta diberi kemakmuran.
Perjanjian Roh Halus
Konon, terbentuknya kesenian Seblang merupakan perjanjian antara roh
halus dengan Saridin, seorang dukun asli Desa Olehsari. Saridin diyakini
memiliki kekuatan gaib dan dapat berkomunikasi dengan roh halus. Itu
terjadi pada awal abad ke XIX. Penari pertama yang terpilih oleh
persekutuan antara roh halus dengan Saridin adalah Mak Milah. Tari
Seblang dipentaskan kali pertama pada bulan Syura, tahun 1930. Hingga
kini yang menjadi dukun, penari, pangrawit (penabuh gamelan),
wirasuara, bahkan “pengundang” (roh) adalah keturunan dari generasi
pertama pementasan kesenian seblang tersebut. Uniknya disamping
keturunan dari seniman-seniwati generasi pertama, yang menentukan
tanggal, penarinya, sutradara, dan lainnya adalah roh halus melalui
perantara dukun. Lebih unik lagi, ada perbedaan mencolok antara tari Seblang di
Desa Olehsari dengan di Desa Bakungan. Di Olehsari, penari yang
terpilih selalu masih gadis. Sedangkan di Bakungan, penarinya selalu
perempuan yang telah menopause. Kostum penarinya pun unik. Mengenakan
kemben (kain panjang yang dikenakan hingga di atas dada) dan sarung
Kepala bermahkota omprok terbuat dari pupus (daun muda).
Suasana magis yang amat kental selalu ada dalam prosesi tari Seblang.
Magis mulai mencuat saat dukun menyiapkan perlengkapan prosesi ritual
dengan membaca mantera dan membawa prapen (tungku pembakaran kemenyan),
berkeliling panggung. Kemudian prapen yang mengepulkan asap beraroma
kemenyan diputar-putarkan di sekitar kepala penari. Ritual itu dimaksud
untuk mengundang roh halus penari seblang dari generasi pertama.
Sesaat kemudian penari yang membawa tampah (nyiru) dengan mata ditutup kain, tampak kesurupan. Hal
itu ditandai jatuhnya tampah dari tangan sipenari. Roh halus telah
masuk ke jasad penari. Inti prosesi pun berlangsung, penari Seblang
beraksi mengelilingi arena, diiringi alunan gending laras slendro plus suara khas pesinden. Gerakan penari sangat lincah, ringan, melayang-layang di udara.
Menari Bersama
Ketika masuk pada gending Kembang Pepe, penari Seblang dengan
mata selalu terpejam melemparkan selendang yang dipakainya pada
laki-laki yang dikehendaki. Hal itu sebagai isyarat untuk mau menemani
menari. Pemuda terpilih (penerima selendang) pantang menolak. Pasalnya,
konon, sang penari yang dikendalikan roh bisa marah, dan diyakini akan
terjadi bencana.
Sepuluh pemuda telah terpilih dalam satu pementasan untuk mendampingi
menari bersama, secara bergantian. Dalam tujuh hari penyelenggaraan
ritual Seblang, ada 70 laki-laki/pemuda yang menemani si penari. Suara
gamelan terus mengalun sampai pada gending Mendhem gadung si penari
berkeliling panggung dengan mata masih terpejam. Didampingi inang
pengasuhnya, si penari menjajakan kembang teton yang dipercaya
sebagai sarana untuk menggapai kemakmuran, keselamatan, bahkan
perjodohan. Kembang talon itu bisa diperoleh dengan menganti uang
sekadarnya. Prosesi ini disebut ider kembang (menjabunga).
Klimaks dari tarian sakral ini terjadi ketika masuk pada tembang Sondra Dewi, tembang
urutan ke-24 dari 28 tembang yang harus dinyanyikan masing-masing 10
kali setiap kali pentas. Sehingga seorang penari Seblang tiap kali
pentas akan menari terus-menerus selama lima jam dengan 280 tembang
dalam bahasa Using. Bahasa tersebut tidak boleh dimodifikasi atau
dikurangi (dipendekkan), karena akan mengundang murka roh yang merasuki
tubuh penari. Dalam tempo tujuh hari pentas, berarti tembang yang dlalunkan sebanyak 1960 (280×7).
Hal itu berarti sang penari Seblang menari dengan alokasi waktu 35
jam! Sungguh suatu tarian yang membutuhkan stamina luar biasa. Tak
pelak, Suasana Sakral mencuat kuat. Pantas seni tari ini memiliki daya
pikat yang khas. Tentu, khas Using, Banyuwangi punya. Ros
source: jawatimuran